قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ
النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ
فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ "
Telah bersabda Rosulallah SAW : sesunggunya diantara yang manusia temukan dari ajaran kenabian terdahulu adalah ; “apabila kamu tidak malu , berbuatlah sesukamu” (HR: Bukhori dari Abu Mas’ud. No 6120)
Hadits yang ditegaskan Nabi SAW sebagai ajaran para Nabi sejak lama ini , memilki tiga makna :
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ
Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia .. (QS : Azzumar : 15)
Perintah
ini bukanlah menurut arti yang sebenarnya, tetapi sebagai pernyataan
kemurkaan Allah SWT terhadap kaum musyrikin yang telah berkali-kali
diajak kepada tauhid tetapi mereka selalu ingkar. Hal yang sama juga
berlaku pada firman Allah SWT yang ditujukan kepada orang-orang yang
selalu mengingkari ayat-ayat Allah SWT :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِير
…Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan (QS : Fushilat : 40)
Kedua,
perintah dalam hadits diatas hakikatnya bermakna berita, yaitu sebagai
sebuah berita dari Nabi SAW bahwa orang-orang yang tidak mempunyai malu
akan berbuat apa saja semaunya, tidak jauh berbeda dengan hadits Nabi
SAW berikut ini :
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Barang
siapa yang berdusta atas namuku, bersiap-siaplah menempati tempat
duduknya di Neraka (HR : Bukhori. Dari Abi Hurairoh. No 110)
Maksud hadit diatas bukan perintah biasa, melainkan sebagai berita bahwa siapa yang berdusta mengatasnamakan Nabi SAW akan masuk Neraka.
Ketiga,
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Nawawi ,perintah Nabi SAW diatas
merupakan isyarat yang jelas bahwa malu adalah standar kebaikan. Yaitu
jika untuk melakukan suatu pekerjaan kita tidak merasa malu ,maka
kerjakanlah karena pekerjaan itu pasti baik, dan jika pekerjaan itu
jelek kita pasti malu untuk mengerjakannya. Imam Nawawi menjelaskan
lebih lanjut , hal itu disebabkan pekerjaan yang wajib dan sunah tentu
malu untuk ditinggalkan, sedangkan pekerjaan yang haram dan makruh tentu
malu untuk dikerjakan. Jadi kalau kita tidak merasa malu untuk
mengerjkannya, kerjakanlah karena pasti pekerjaan itu tidak haram dan
tidak makruh. Kalau tidak wajib dan sunnah, maka pasti itu mubah.
Penjelasan
Ibnu Hajar terkait pernyataan Busyair bahwa ada malu yang mengantarkan
seseorang pada kejelekan, menemukan pembenarnya dalam hadits riwayat
Bukhori. Dalam kitab shohihnya , Imam Bukhori mencantumkan satu bab yang
berjudul “Tidak boleh merasa malu dari kebenaran, agar bisa tafaqquh
fiddin” yang kemudian beliu memasukkan kedua riwayat berikut ini dalam
bab tersebut :
عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحِي مِنَ الحَقِّ، فَهَلْ عَلَى
المَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ: «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ
المَاءَ»
Dari
Ummu Salamah ra, berkata : Ummu Sulaim datang kepada Rosulallah SAW
lalu berkata : wahai Rosulallah sesungguhnya Allah tidak malu dari
kebaikan. Apakah wanita juga harus mandi apabila ia ihtilam (mimpi
basah)? Nabi SAW menjawab : ya, apabila ia melihat air mani. (HR :
Bukhori . no 6121)
قَالَ
اِبْنُ عُمَرَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَثَلُ المُؤْمِنِ كَمَثَلِ شَجَرَةٍ خَضْرَاءَ، لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا
وَلاَ يَتَحَاتُّ» فَقَالَ القَوْمُ: هِيَ شَجَرَةُ كَذَا، هِيَ شَجَرَةُ
كَذَا، فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ: هِيَ النَّخْلَةُ، وَأَنَا غُلاَمٌ شَابٌّ
فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقَالَ: «هِيَ النَّخْلَةُ» وَعَنْ شُعْبَةَ،
حَدَّثَنَا خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ،
عَنْ ابْنِ عُمَرَ: مِثْلَهُ، وَزَادَ: فَحَدَّثْتُ بِهِ عُمَرَ فَقَالَ:
لَوْ كُنْتَ قُلْتَهَا لَكَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا
Ibnu
Umar ra berkata : bersabda Nabi SAW :” Perumpamaan seorang mu’min itu
seperti sebuah pohon hijau yang tidak berguguran daunnya dan tidak
mengering”, orang-orang waktu itu menebak pohon ini, pohon itu, aku
ingin sekali menjawab bahwa pohon itu pohon kurma, tetapi Karen aku
masih muda belia aku pun malu . dan ternyata beliau menjawab : Pohon
kurma. (Riwayat Syu’bah , dari Khubaib ibnu Abdurrahman , dari Hafs ibnu
‘Ashim , dari Umar , seperti diatas tetapi ada tambahan) aku lalu
menceritakannya kepada Umar , ia pun berkata : “sesungguhnya saja kamu
berani mengatakannya tentu lebih aku sukai daripada ini dan itu (menurut
Ibnu Hajar yang dimaksudnya waktu itu adalah lebih baik daripada unta
merah)” (HR : Bukhori . no 6122)
Artinya
Imam Bukhori hendak memberitahukan kepada kita bahwa jika ada diantara
kita yang enggan atau malas memperdalam agama dengan alasan malu, maka
itu bukan haya’(malu) , yang dimaksudkan Nabi SAW, justru berdasarkan
konsep haya’ seperti disinggung diatas, orang tersebut sebenarnya adalah
orang yang tidak punya malu. Seharusnya ia bersemangat memperdalam ilmu
agama, ini malah enggan dan malas. Tidak punya malu !.
sumber : http://www.fiqhsunnah.com/akhlaq/malu-pelajaran-dari-para-nabi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar